Drama dalam Drama


Aku duduk di sini, memeluk lutut, memandangi—mengagumi—punggung pria yang sedang berdiri memandangi danau buatan di tengah taman. Ia baru saja muncul dengan nafas tersengal. Ia mendesah panjang lantas mengacak rambutnya yang basah menggunakan tangan dengan frustasi. Ia sedang punya masalah.

Aku menyukai pria itu. Sudah lama. Ia punya senyum yang menawan, mata yang menyipit ketika tertawa, sepasang lesung pipit yang manis, serta suara yang merdu. Tidak perlu pertanyakan bagaimana hubungan kami; hanya bisa duduk di sini, memandanginya—punggungnya—dari jarak terdekat yang bisa aku jangkau sudah bisa menjadi jawaban bahwa selama ini aku hanya mencintai sendirian. Mungkin ia tidak pernah sadar bahwa ada seorang Aku eksis di dunia ini.

“Ru.” Sebentuk suara membuat pria itu, Ru, menoleh. Satu detik, dua detik, ia mematung seolah tidak percaya melihat siapa yang muncul. Lalu perlahan-lahan, sosok perempuan pemilik suara lembut itu muncul, bergerak ragu mendekati Ru. “Aku tahu kau ada di sini,” katanya dengan nafas agak tersengal, meski tidak setersengal ketika Ru muncul pertama kali.

Jika Ru ada di taman ini memang untuk berlari sebagai pengalih perhatian, perempuan itu tidak. Rambutnya berantakan, ia mengenakan pakaian rumah dan sandal kamar, matanya tampak bengkak, sepertnya cukup banyak menangis. Ia pasti terburu-buru kemari.

“Maafkan aku,” kata perempuan itu lagi, suaranya mendadak parau. “Aku tahu aku bodoh, berpikiran pendek, dan …” ia berhenti, memandang mata Ru dengan matanya yang perlahan berair. Perempuan itu begitu menyesal hingga terbaca dengan mudah di wajahnya, bahkan tanpa air mata itu. Jahat sekali Ru jika tidak memaafkannya.

Ru tersenyum. Manis sekali hingga jantungku pun ikut berdetak tidak karuan, padahal aku tahu senyum itu bukan untukku. Ru mendekat, selangkah, dua langkah, hingga jarak mereka begitu dekat.

“Dan?” tanya Ru.

“Dan… aku… mencintaimu.”

Aku mendadak terduduk tegak ketika detik berikutnya Ru mendaratkan sebuah kecupan lembut tepat di bibir perempuan itu. Seharusnya aku memalingkan wajah, namun aku begitu terkejut hingga hanya bisa mematung.

Hatiku hancur berkeping-keping. Ada gelombang panas yang menjalar dengan cepat. Rasanya sesak. Mataku memanas karena desakan air mata yang berusaha aku tahan. Sedih sekaligus kesal, kesal sekali hingga ingin memisahkan mereka saat itu juga.

Aku meraba meja kecil di sebelahku, kutemukan benda persegi panjang itu dengan susah payah, lalu dengan satu lambaian tangan, benda 29 inci di hadapanku mendadak menggelap.
“Drama bodoh!” umpatku kesal sebelum beranjak pergi.***

Makassar, 26 Juli 2015
Sachakarina
21:06

Categories: Cerpen, Fiksi, Flash Fiction | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.