Kamu, Kita

Saya masih mengingat dengan jelas bagaimana kamu menyapa dan tersenyum dengan manis—menyembulkan lesung pipitmu—di depan saya. Melontarkan kalimat lelucon yang membuat saya bersemu lantaran malu, alih-alih menjabat tangan saya untuk berkenalan dengan lebih formal.

Ketika kau memaku pandanganmu padaku, saya jadi semakin gugup dan malu. Saya mulai mengkhawatirkan banyak hal dalam sekejap. Bagaimana penampilan saya saat itu?Apa wajah saya kusam? Rambut saya berantakan? Tidakkah baju yang saya kenakan ini bagus? Apakah saya menarik? Saya begitu butuh cermin yang tidak mungkin ada di sana sekarang. Ketika saya beranikan mengangkat wajah, saya menangkap refleksi diri sendiri di matamu yang gelap. Saya bertanya-tanya apa yang bisa saya lihat dengan jelas di sana, dan pada akhirnya saya menyerah lalu memalingkan wajah yang memanas. Keinginan untuk bercermin tadi hilang seketika, berganti keinginan menggali tanah dan menghilang dari tempat itu saat itu juga. Berusaha membebaskan diri dari jerat tidak kasat mata yang membelit.

Saya jatuh. Padamu. Secepat itu.

Sungguh menakjubkan.

Mengantarkan saya pulang ke rumah untuk pertama kalinya selalu berkesan.
Tengah malam. Selepas hujan. Namun semua terasa benar, bukan waktunya tapi kehadiranmu. Saya berharap kamu selalu berada di sebelahku. Selalu tertangkap tatapan mataku karena jarak begitu menyiksa. Saya belajar dan menyesuaikan dengan sangat cepat, yang membuatku kagum pada diriku sendiri, tentang keberadaanmu di sampingku tapi begitu sulit menerima ketidakberadaanmu.

Saya sadar, saya tidak lagi bernafas untuk diriku sendiri. Untukmu juga.

Hal terbaik yang bisa saya bisa berikan pada diri saya sendiri. Segenggam cinta. Yang hangat.
Sayangnya tidak semua bisa berjalan seperti yang inginkan.

Ada masa di mana saya mulai mencari-cari sisa kebahagiaan yang pernah ada, yang mulai memudar tanpa bisa dicegah. Saya tidak menyalahkan kesedihan yang mulai menguasai atau menyesali tiap airmata yang menitik. Saya sadar bahwa itu semua bukanlah sebuah ketidakbenaran. Perpisahan yang tidak terelakkan itu mungkin adalah hal paling benar yang pernah kita pilih.

Karena benang penghubung di antara kita memang hanya sepanjang itu. Berujung di situ.***

 

Cha.
Makassar, November 2012
10:2

Categories: Fiksi | Tinggalkan komentar

Menunggu Lampu Hijau

Akhirnya berada di sini juga (@ jam gadang Bukit Tinggi)

Tulisku di foursquare yang terintegrasi dengan twitter, media sosial yang selama ini menjadi penghubung kami, aku harap dia membacanya.

Setelah lelah berkeliling, aku berhenti di salah satu bangku di sudut taman. Langit mulai gelap, nyala lampu jalan telah menggantikan sinar matahari untuk penerangan.

Ada banyak sekali kenangan di tempat ini, yang paling membekas adalah perpisahanku dengannya. Kami bertemu di sini hari itu, ketika kuputuskan berhenti berjuang untuknya—untuk kami—dan pindah ke London untuk melanjutkan kuliahku. Orang tuanya tidak pernah merestui hubungan kami dan itu alasan yang paling menyakitkan untuk mengakhiri sebuah hubungan yang sudah dijalin cukup lama, tujuh tahun.

“Akhirnya aku menemukanmu.”
Aku sontak menoleh ke belakang mendengar sebentuk suara. Adit berdiri di sana, tampak kelelahan—dia berlari ke sini, pasti—dan masih mengenakan seragamnya. Senyumku perlahan mengembang. Ingin sekali aku menghabur ke pelukannya, membisikkan bahwa aku sangat merindukannya, namun aku tidak bergerak. Hanya terus menatapinya yang juga sedang tersenyum.

“Kau tidak memberi kabar mengenai kepulanganmu. Kalau tidak mengecek twitter, aku tidak akan tahu kau ada di sini,” ujarnya dengan bersemangat, dia melesakkan tubuhnya ke ruang kecil yang tersisa di sebelahku. Aku bergeser ke samping. “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Menunggu lampu hijau,” jawabku. Ia tidak memberikan respons yang berarti, hanya terdiam, menerawang. Apakah aku salah bicara? “Itu,” tunjukku pada pohon yang batangnya dililiti lampu hias berkerlap-kerlip, warnanya hijau. “Pohonnya cantik.”

Aku masih berharap padanya. Sangat-sangat berharap. Tiga tahun yang kuhabiskan untuk berusaha melupakannya ternyata tidak cukup, aku butuh lebih dari tujuh tahun untuk membuang semuanya. Atau mungkin seumur hidupku. Dia terlalu berarti. Apakah aku sudah terlambat?

“Aku selalu menunggumu pulang, Rania,” Aku menoleh, ia menatapku dengan yakin. “Padaku.”

***

Cha.

Ditulis untuk #15HariNgeblogFF2 hari 1

Categories: Tak Berkategori | Tag: | 1 Komentar

Novel No Other

Judul Buku: No Other
Pengarang: Karina Sacharissa
Genre: Romance
Kategori: Fiksi Remaja
ISBN: 978-602-9397-36-1
Tebal: viii + 188 hal
Harga: Rp. 34.000
Penerbit : Bentang Belia
Terbit : April 2012

Sinopsis

Aku tahu

Kalian berbeda

Dan, aku seharusnya mencintai dengan cara yang berbeda.

 

Di tengah kekecewaannya gagal nonton “Super Junior Super Show”, Acha bertemu seorang cowok yang mirip dengan Siwon, idolanya. Atas ide gila Alia, sahabatnya, tanpa pikir panjang Acha meminta Adry–si Siwon palsu–menjadi pacarnya.

Hidup Acha sangat berwarna setelahnya. Adry ganteng dan super baik. Sayangnya, Alia selalu mempermasalahkan perasaan Acha yang sebenarnya pada Adry. Pertengkaran pun tak bisa ditolak. Kebohongan demi kebohonhan muncul.

Benarkah Acha bisa sungguh-sungguh mencintai Adry sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai Siwon idolanya?

***
Ceritanya segar dan pas banget untuk penggemar Siwon, Super Junior (SUJU). Penggemar SUJU harus baca buku ini ^^”
–Yunike (Eunice), founder http://www.siwonlover.com (fanbase internasional Choi Siwon)
Dapatkan segera di toko buku seluruh Indonesia atau bisa pesan langsung pada saya dengan mengirim email ke cha.licca@gmail.com (harga belum termasuk ongkos kirim dari Makassar).
Categories: Buku, Fiksi | Tag: | 3 Komentar

Continue

Aku pikir, aku sudah berhenti. Karena semuanya sudah berlalu lama sekali. Tapi setelah kucoba menelaah kembali, aku mendapati diriku masih menunggu. Masih berharap banyak hal padamu, terutama kebahagiaan.
Aku tidak mengerti dengan diriku, juga dirimu. Mengapa kau mampu membuatku jadi seperti ini. Tidakkah kau bisa berhenti menjeratku?
Ada banyak hari di mana aku merasa kau tidak berarti apa-apa lagi, karena kamu mengabaikanku. Tapi kau akan kembali lagi dan tentu pergi ketika kau sudah tak butuh.
Apa kau tak pernah peduli pada diriku? Padahal kau sangat ingin aku peduli pada perasaanmu.
Aku bukan boneka mainanmu. Aku bukan anjing peliharaanmu, yang akan tetap setia menunggu mesti ditinggal, dan akan segera mendekat ketika mendengar satu siulan saja.
Sungguh, aku tak ingin seperti itu. Jika kau memang tidak pernah bern iat merancang masa depan untuk kita, tolong, menjauhlah dariku.

Categories: Daily story | Tag: | 1 Komentar

[FANFIC] Saengil Chukahamnida, Micha

 

Cast : Siwon, Micha (OC)

Length : drabble

Genre : romance

Author: dizzcography

 

Musim semi mulai merayapi Seoul, namun Micha masih setia menggunakan scarf-nya ketika keluar rumah. Beberapa kali handphone dalam kantong coat-nya bergetar, menandakan pesan masuk. Namun ia mengabaikannya.  Ada sesuatu yang lebih penting. Rumah sakit. Kekasihnya dini hari tadi mengalami kecelakaan saat mengemudi sendiri. Micha bukannya tidak pernah mengingatkan, tapi laki-laki itu selalu mengatakan ia tidak apa-apa. Micha benar-benar khawatir sekarang.

“Permisi, aku mencari pasien dengan nama Choi Siwon,” desak Micha pada gadis dibalik meja resepsionis. ”Tadi pagi pukul tiga ia mengalami kecelakaan di sekitar Apguhjeong, aku dengar dari managernya ia mengalami patah tulang,”

“Tunggu sebentar ya, nona.” Gadis itu mengetik dengan lembut diatas keyboard. Micha tidak sabar menunggunya.

”Bisakah agak cepat, nona? Aku terburu-buru sekarang?”

”Silahkan naik ke lantai 3 di instalasi bedah B kamar nomor 4.”

“Terima kasih.” Micha mengayunkan langkahnya ke lift terdekat. Ia menekan tombol ‘naik’ berkali-kali hingga jarinya kebas namun pintunya tidak juga membuka. Micha mencari tangga darurat dan berlari. Micha menemukan instalasi bedah tepat di seberang tangga. Sudut matanya menjelujuri tiap ruang dengan hati ngilu. Beberapa orang yg ditemuinya terikat pd traksi, sebagian lain belajar berjalan menggunakan kaki palsu dan tongkat. Ia tidak berani berspekulasi tentang apa yang terjadi pada kekasihnya. Akhirnya Micha menemukan bedah B. Ia menemukan kamar nomor empat tepat di ujung lorong. Pada saat ini Micha merasa ingin kembali. Ia takut dirinya tidak sanggup melihat keadaan Siwon sekarang. Namun disisi lain ia merasa Siwon sangat membutuhkannya sekarang.

“Oppa,” bisik Micha pada laki-laki yang terlelap di tempat tidurnya. Siwon terlihat baik-baik saja, yah, wajahnya memang terlihat pucat. Tapi tubuhnya tampak utuh, kecuali pergelangan tangan yang dibebat gips. Micha malu pada dirinya sendiri yg berimajinasi terlalu jauh. ”Syukurlah kau tidak apa-apa, Oppa. Kau membuatku takut,” Micha menggenggam tangan Siwon yang terbalut perban dengan hati-hati. Sekilas Micha melihatnya, benda berkilat dalam kepalan Siwon yang begitu erat. Ia mengurainya perlahan, dan mendapati sebentuk cincin. Namanya dan nama kekasihnya terukir disana.

“Marry me, Micha. Aku tahu kau sudah datang.” laki-laki itu membuka matanya perlahan. “Saengil chukka hamnida, Chagi..”

***

Categories: Fanfict, Super Junior | Tinggalkan komentar

Happy Birthday To Me

Happy 21st Icha… Semoga apa selama ini aku impikan bisa menjadi nyata. Cepat lulus kuliah (udah capek kuliah :D), murah rezeki, bisa ketemu Siwon, dan semua yang kulakukan berjalan dengan lancar. Amiiinnnn

Semua orang pasti menginginkan yang terbaik untuk dirinya, sepertiku.

생일 축하해요 미차씨

Categories: Daily story | Tag: | Tinggalkan komentar

Kenangan Tentangmu Yang Selalu Manis

Orang-orang memanggilnya manis. Tapi dari sudut pandangku, panggilan itu bukan karena wajahnya manis, melainkan karena ia menderita diabetes mellitus. Aku sendiri lebih suka memanggilnya ‘sugar’, olok-olokan untuk penyakitnya itu.

Masa kecilku bersamanya kuhabiskan dengan bertengkar, memperebutkan apa saja. Karena ia benar-benar harus menghindari makananan-makanan manis yang sangat disukai oleh anak-anak seperti kami, maka ia akan berusaha berusaha merebut permen, cokelat atau biskuit yang aku milki tanpa sepengetahuan orang tuanya, sedangkan aku tak sudi memberikan untuknya. Bukan karena aku peduli akan penyakitnya, tapi karena aku ingin membuatnya iri.

Seiring bertambahnya usia, aku mulai sedikit mengerti tentang situasinya. Aku tak akan pernah mencoba memakan makanan manis dengan terang-terangan di depannya. Sesekali ia akan mengajakku berbuat bandel, mencicipi es krim yang iklannya sangat menggugah selera di TV, kalli ini aku yang menolak dengan keras. Sekali saja ia makan gula, maka akan berakibat cukup fatal bagi tubuhnya. Selama sepuluh tahun ini, ia selalu bergantung pada insulin buatan yang disuntikkan dua kali sehari. Ia mulai menyuntik sendiri sejak setahun lalu.

Hari itu ia memberiku sekotak cokelat. Ia bilang, ia ingin memberikanku hadiah yang manis sebagai ucapan terima kasih karena selalu ada dengannya. Senyumku mengembang sempurna. Cokelat pertama yang kudapat darinya.
“Makan sekarang!” Ia menahan tanganku yang bersiap memasukkan cokelat itu dari dalam tas.
“Nanti,” ujarku. Tidak mungkin aku memakannya tepat di hadapannya.
“Sini, kita makan bareng.” Kalimatnya membuatku melotot, terutama saat ia mengambil cokelat itu dan membuka bungkusannya.
Kurampas cokelat itu tangannya. “Kamu jangan bandel deh! Tadi kamu bilang insulinmu yang baru tidak begitu cocok dengan tubuhmu.”
“Nggak usah khawatir.”
“Gimana aku nggak khawatir, kamu jelas-jelas mau ngelanggar apa yang paling dilarang. Kamu…” Sepotong cokelat dimasukkan ke dalam mulutku, memotong kalimatku. Ia juga memakan satu. Air mataku menggantung. “Aku takut.”
“Sst. Aku nggak akan kenapa-kenapa. Percaya deh.”

Seharusnya aku tak percaya.

***

Pagi itu dingin. Orang-orang bertanya apa kenangan manis antara aku dan kamu. Aku tidak yakin itu apa. Yang aku tahu, kamu adalah si ‘manis’ itu.

***
Cha.

Categories: Flash Fiction | Tag: , | Tinggalkan komentar

Inilah Aku Tanpamu

Tak pernah terpikirkan sebelumnya, apa yang terjadi padaku jika tidak ada kamu?

Kita adalah satu kesatuan, sebagian diriku ada padamu. Aku tanpamu adalah pincang.

Ada ratusan hari yang kita lalui bersama. Kau selalu setia menemaniku sampai tengah malam, menyenandungkan lalu pemberi semangat, menunjukkan hal-hal menarik untukku, mengelilingi dunia bersama, selalu ada di sebelahku, bersama meraih mimpiku.

Aku sungguh mencintaimu. Tapi kenapa? Kenapa kau seperti ini? Aku sangat kehilanganmu.

Inilah aku, tanpamu. Bergelung dalam sedih yang menggumpal.

Aku hanya ingin kau, Laptopku.

***

Cha.

Teruntuk Laptopku, jangan rusak lama-lama ya. Masih banyak yang perlu kita lakukan bersama.

Categories: Daily story, Flash Fiction | Tag: , | 4 Komentar

Aku Benci Kamu Hari Ini

Hari ini aku bangun lebih pagi. Tidak biasanya. Sejujurnya, aku lebih suka menghabiskan liburku dengan bangun lebih siang tanpa memikirkan apapun. Tubuhku berontak meminta demikian setelah diforsir selama seminggu penuh, istirahat total adalah hadiah untuknya yang telah bekerja keras. Tapi aku tak peduli. Aku menginginkannya. Kau tahu itu.

Nyatanya, kau tidak peduli. Kau malah membatalkan rencanaku secara sepihak, tanpa ada pemberitahuan sama sekali lebih dulu. Jahat sekali! Aku sudah menunggu berhari-hari untuk semua ini, kau tahu kan? Kau pasti tahu! Sudah kukatakan, kau tak pernah peduli padaku.

Sungguh, aku benci kamu hari ini!

Kesal, kecewa, sedih, semuanya bercampur menjadi satu. Aku mulai menggerutu dan mengumpat tidak jelas, lalu air mataku perlahan menggumpal di pelupuk. Aku berlari ke dapur.

“Mamaaa… Listrik mati. Aku mau nonton Doraemon!”

***
Cha.

#15HariNgeblogFF hari 8

Categories: Flash Fiction | Tag: , | Tinggalkan komentar

Luka

image

Selama bertahun-tahun ini, aku merasa tidak pernah dilukai olehmu. Bahkan ketika mendengarmu menyanyikan lagu untuk orang lain. Semuanya baik-baik saja. Aku baik-baik saja.

Tapi pertemuan hari ini, membuatku jadi berantakan. Apa yang terjadi padaku? Apa yang kau lakukan padaku? Mengapa begitu mudah menjadi berantakan ketika kita sudah berpisah jauh. Ketika aku yakin rasa itu hilang.

Seharusnya kita tidak usah bertemu. Itu menyakitiku.

Jika itu tentangmu, aku selalu sendirian.

Cha.

Categories: Daily story | Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.