Memang Selalu Kamu

Aku melihat tantemu masuk ke halaman rumahmu dengan tergesa-gesa. Anak yang berada di gendongannya seperti sama tidak sabarnya ingin masuk ke dalam rumah dan segera bermain.

Aku terus mengamati dari balik jendela kamar di lantai dua rumahku. Apa kamu tahu? Aku selalu mengamatimu dari sini. Dari kamarku. Padahal untuk menemuimu aku hanya perlu menyeberang jalan, beberapa langkah saja dari rumahku dan aku bisa menatapmu dalam jarak yang sangat dekat.

Tapi aku senang menatapmu dari sini. Aku selalu senang setiap kali aku melihat kamu masuk ke halaman rumahku lalu aku akan  segera berlari menuju pintu agar tidak ada yang mendahuluiku membukakan pintu untukmu.

Seperti saat ini juga, aku melihatmu mengantar tante yang datang tadi sampai di depan gerbang rumahmu. Lalu kamu merogoh kantong. Aku segera meraih ponsel yang tergeletak di tempat tidur.

1…2…3…

Drrttt…

Telepon darimu. Jelas. Aku membiarkan ponselku bergetar beberapa saat sebelum mengangkatnya, menikmati debaran jantungku yang memompa tidak karuan mendengar nada dering yang khusus kupakai agar aku bisa mengenali dengan cepat telepon darimu. Aku tidak peduli dadaku terasa agak sakit karena entakan keras di baliknya. Aku senang. Bahagia. Karena ini rasa yang kurasakan padamu. Selalu.

Sudah dua tahun sejak aku mengenalmu tapi aku tidak pernah bisa mengatasi rasa seperti ini jika berada di dekatmu. Responku selalu sama. Deg-degan. Sebentar lagi mungkin aku akan diserang penyakit jantung karenamu.

Ah, aku tidak peduli!

“Ke rumahku, yuk!” katamu saat kuangkat teleponmu. “Butuh bantuan seorang perempuan nih!” Aku tersenyum mendengar suaramu yang memohon, raut wajahmu dari sini juga terlihat jelas. Kamu terlihat lucu.

Kamu terdengar yakin aku pasti akan membantumu. Kamu tidak bertanya apakah aku sedang sibuk?

Benar. Tidak perlu! Karena waktuku selalu ada untuk membantumu. Aku senang merasa dibutuhkan olehmu.

“Tunggu aku di sana!” kataku cepat lalu mematikan telepon. Aku berlari menuruni tangga dan mengatur nafasku yang  memburu sebelum membuka pintu rumahku. Tidak lebih dari dua menit aku sudah berdiri di hadapanmu. Kamu tersenyum.

Aku mengikutimu masuk ke dalam rumah yang sepi, ternyata tidak ada orang rupanya, hanya kamu saja. Aku melihat seorang anak laki-laki berumur 3 tahun sedang bermain mobil-mobilan di atas karpet di depan televisi. Ah, ya. Aku ingat. Anak ini yang tadi digendong oleh tantemu. Sepupumu. Pasti dititipkan padamu.

Jadi, kamu memanggilku untuk membantumu menjaga anak ini? Kamu memang sangat tahu kalau aku menyukai anak kecil apalagi yang lucu seperti sepupumu ini.

Apa lagi yang kamu ketahui tentang aku?

Kamu tahu aku suka cokelat!

Kamu tahu aku suka permen susu!

Kamu tahu aku suka pelangi!

Kamu tahu aku tak suka buah pisang!

Kamu tahu aku tak suka wangi minyak kayu putih!

Aku jadi bertanya-tanya, apa yang tidak kamu ketahui tentang aku?

Mungkin kamu tidak tahu kalau aku menyukaimu!

Kamu tak perlu tahu.

Aku ingin rahasia kecil itu milikku sendiri.

Apakah aku sudah mengatakan bahwa sepupu kecilmu ini sangat lucu? Pasti akan seperti kamu jika sudah dewasa nanti. Aku yakin akan banyak gadis-gadis yang menyukainya juga. Seperti kamu.

Tanpa kita sadari hujan sedang mengguyur dengan sangat lebat di luar. Tapi kita tidak peduli, kita berada di dalam rumah yang hangat, aman dan sedang bermain dengan gembira. Bersamamu selalu hangat dan aman. Apa yang perlu kita khawatirkan? Apa yang perlu aku khawatirkan?

Lalu sepupumu merengek minta dibuatkan susu, kamu bangkit tanpa mengeluh lalu beranjak menuju dapur. Itu yang aku sangat suka darimu. Kamu terlihat begitu ikhlas ketika mengerjakan sesuatu, tanpa beban, tanpa mengeluh sama sekali. Itu juga sebabnya aku tak pernah bisa menolak jika kamu butuh bantuan. Aku ingin sepertimu. Keikhlasanmu.

Aku mengikutimu menuju dapur. Aku bersandar di pintu dapur dan mengamatimu. Kamu seperti seorang Ayah yang membuat susu untuk anaknya. Senyum tersungging di bibirku kala membayangkan itu. Membayangkan kamu!

Tidak. Tidak. Jangan pedulikan apa yang aku pikirkan! Pikiranku sedang ngelantur. Pikiran warasku tertelan euphoria keindahan yang memanjakan mataku. Kamu lagi!

Aku kembali ke ruang tengah, dan betapa kagetnya aku saat melihat sepupumu sudah tidak lagi berada di tempatnya beberapa menit lalu bermain. Pintu depan terbuka lebar. Aku memekik tertahan. Sepupumu yang ternyata agak bandel itu  ada di taman. Bermain air. Basah karena hujan. Aku berusaha memanggilnya tapi dia mengabaikanku. Dia senang bermain lumpur.

Tanpa pikir panjang aku ikut menerjang hujan yang lumayan deras. Aku menggendong sepupumu agar mudah dibawa masuk ke dalam rumah lagi. Aku takut dia bisa sakit. Aku takut kamu marah padaku karena dengan ceroboh meninggalkan sepupumu tanpa pengawasan.

Kamu berdiri menatapku di depan pintu. Segelas susu cokelat hangat tergenggam di tanganmu. Kamu menatapku kaget, takjub, juga kasihan. Kamu kasihan melihatku basah kuyup begini? Jangan. Aku tak suka dikasihani apalagi untuk hal sepele seperti ini. Di depanmu aku selalu ingin terlihat kuat.

Berbasah-basah, aku langsung membawa sepupumu ke kamar mandi untuk memandikannya. Aku merasa tidak enak padamu. Lantai keramikmu yang putih bersih jadi kotor. Basah dan berlumpur.

“Udah, biarin aja lantainya basah. Nanti aku bersihkan!” katamu.

Lalu kamu pergi meninggalkanku yang sedang sibuk dengan sepupumu. Agak lama aku memandikannya karena dia sangat suka bermain air dan dia tidak mau berhenti bermain. Kamu menyodorkan dua buah handuk. Yang berukuran besar untukku dan yang lebih kecil untuk sepupumu. Pakaiannya pun sudah kamu siapkan. Dan pakaianku juga?

“Kamu mandi juga gih, pakaian gantinya udah diambilin tuh!” katamu kasual. Aku takjub.

Aku mengutuki diriku sendiri yang hanya bisa mengangguk saja. Bahkan ucapan terima kasih tak mampu terucap. Kata-kata itu tertelan rasa bahagia. Aku bahagia sekali akan perhatianmu.
Kamu hujan-hujanan ke rumahku hanya untuk mengambilkan pakaian? Pantas saja pakaian dan rambutmu agak basah, itu karena titik hujan rupanya. Kamu pakai payung, kan? Tidak langsung menerjang hujan, kan?

Kamu memang baik sekali. Dan tindakanmu itu juga berarti kamu masih mengizinkanku untuk tetap menemanimu di sini, setidaknya sampai sore nanti.

Lalu kita duduk bersisian di sofa di ruang tengah sambil menonton film kartun. Segelas susu cokelat hangat baru saja kuteguk habis. Lengan kita saling bersentuhan. Lenganmu terasa hangat, tapi lenganku seperti ingin membeku. Sepupumu terkantuk-kantuk di atas pangkuanmu lantas tertidur tidak lama kemudian. Aku sebenarnya juga sangat mengantuk.

“Kita seperti satu keluarga kecil, yah!” Kalimatmu berhasil membuatku terkesima.

Kaget.

Takjub.

Senang.

Melayang.

Berharap!

Aku mencerna kata-katamu. Aku. Kamu. Satu keluarga? Bukankah itu terdengar sangat indah? Pipiku perlahan merona.
Kamu menatapku penuh makna dengan mata hitam yang menghayutkan. Senyum manis tersungging di bibirmu. Aku meleleh.

Aku segera memalingkan muka karena aku tidak berani menatap matamu. Aku takut tersesat di sana. Aku berganti memandangi TV untuk menutupi kegugupan yang tiba-tiba menderaku.
Aku hanya bisa berharap semoga saat kamu mengatakan kalimat itu, malaikat sedang lewat dan mencatat perkataanmu. Bukankah perkataan adalah doa? Dan aku selalu percaya itu!

Aku sudah tidak kuat lagi menahan kantuk hingga aku akhirnya terkulai di bahumu.

Dibuai mimpi tentang kamu.

Tentang kita.

Tentang keindahan.

Memang selalu kamu! ***

2011
Sachakarina

Categories: Tak Berkategori | Tag: , | Tinggalkan komentar

Kita

image

Let this love be forevermore they say
I wish for this
To be true for you and me
(You & Me – Olivia Ong)

Kami duduk bersebelahan di bangku taman yang sebagian cat putihnya telah mengelupas. Aku melipat tangan di depan dada, dan memandang ke rerumputan di bawahku yang masih berembun. Matahari bahkan belum begitu terik, tapi kami sudah cekcok lagi. Apalagi hanya untuk hal sepele; ia terlambat bangun dan kami tidak jadi melihat matahari terbit.

Aku kesal sekali karena kami sudah merencanakan ini sejak berhari-hari lalu. Aku mencoba membangunkannya lewat telepon namun ia bergeming, lantas menyalahkanku karena aku kurang mencoba, katanya. Bayangkan betapa menyebalkannya ia, padahal aku meneleponnya hingga ratusan kali. Aku memang pantas kesal, kan? Ia sudah membuatku senewen sejak subuh lantas melimpahkan semua kesalahan padaku pada akhirnya.

“Sudah marahnya?” ia bersuara, tidak dengan nada bersalah, tidak sedang bercanda, tidak juga berusaha membujuk. Datar.

“Masih,” ujarku ketus.

Ia tidak berkata lagi. Ia begitu tahu bahwa aku bukanlah orang yang menyenangkan untuk diajak berbicara sedang emosi seperti saat ini.

Berselang banyak menit yang hening, aku merasakan ia menyikut lenganku pelan. Awalnya aku berniat mengabaikan meskipun sebenarnya kesalku sudah menyusut banyak, aku ingin merajuk lebih lama hanya untuk mengetes bagaimana caranya membujukku kali ini, namun urgensi pada caranya menyikutku membuatku luluh dan menoleh ke arahnya. Ia memberiku kode menggunakan matanya.
Aku menoleh ke arah yang ia tunjukkan. Di depan kami sepasang manula sedang berjalan bersebelahan, saling menautkan jari, bergerak dengan lambat dan waktu seolah ikut melambat bersama mereka. Pertautan tangan mereka terlihat erat, kuat, kontras dengan tangan keriput mereka yang tampak rapuh. Sesekali mereka saling memandang dengan tatapan yang entah bagaimana caranya terlihat begitu penuh cinta. Melihat mereka cukup membuat moodku membaik seketika. Tanpa sadar aku tersenyum. Mereka tidak hanya berbagi kebahagiaan di antara mereka, tapi juga untuk orang-orang di sekitar mereka.

“Bukankah mereka…” aku tidak tahu akan mengatakan apa. Romantis?

“Mengagumkan,” katanya melengkapi ucapanku yang terpotong. Aku menoleh ke arahnya, ia sedang memandangiku—sambil tersenyum, entah sejak kapan.  Wajahku perlahan merona. “Ayo kita hidup berbahagia seperti mereka, dalam kurun waktu yang tak terhitung, hingga waktu ikut
melambat bersama kita.”

Kita?”

Kita. Tentu saja. Siapa lagi?” ia meraih tanganku. Mengenggamnya erat lantas menarikku pergi meninggalkan bangku itu.

Ya. Kita.

Kami.***

Makassar, 10 Agustus 2015
Sachakarina
23:38

Categories: Tak Berkategori | Tinggalkan komentar

Jejak

I am losing smile as time passed by
Now we cant look back
We cant look forward
We are all worn out
(Remember – Apink)

image

Ia mencintai pantai. Aku memilih pegunungan. Ia tidak begitu suka kelembaban yang tinggi di pegunungan. Aku benci bau asin air laut. Kami dua orang teramat berbeda yang mencoba bersama. Orang-orang bilang, perbedaanlah  yang membuat segalanya lebih indah. Dan membuat segalanya berantakan, tambahku.

Kami pada akhirnya tak pernah bersama. Ia memilih pergi. Aku memutuskan berhenti.

Namun aku ada di sini. Sendirian. Memandang jauh ke tengah lautan dari tepi pantai, pasir putih lembut mengisi sela-sela kosong di antara jemari kakiku yang tak beralas; menyusuri jejak-jejak kenangan yang pernah ia bawa ketika ia memaksaku untuk menemaninya ke pantai ini.

Kala itu, ketika kutanyai mengapa ia begitu menyukai tempat seperti ini, ia bilang ia senang mendengar debur ombak, senang berjalan di tepi pantai tanpa alas kaki, senang menunggui matahari terbenam. Ia terlalu menyukainya hingga tak tahu lagi harus bilang apa.

Aku tidak mengerti untuk apa sebenarnya aku berada di sini ketika semuanya sudah terlanjur berakhir. Aku pun tidak berharap agar ia kembali datang. Mungkin aku hanya penasaran dan masih ingin tahu, mengapa ia menyukai ini—yang tetap tak kupahami.

Setelah termenung lama, aku sadar, bukan perbedaan yang membuat aku berhenti, atau sebab ia pergi. Tapi karena kami, memang tidak pernah benar-benar berusaha.***

Makassar, 30 Juli 2015
Sachakarina
3:41

Categories: Tak Berkategori | Tinggalkan komentar

Drama dalam Drama

Aku duduk di sini, memeluk lutut, memandangi—mengagumi—punggung pria yang sedang berdiri memandangi danau buatan di tengah taman. Ia baru saja muncul dengan nafas tersengal. Ia mendesah panjang lantas mengacak rambutnya yang basah menggunakan tangan dengan frustasi. Ia sedang punya masalah.

Aku menyukai pria itu. Sudah lama. Ia punya senyum yang menawan, mata yang menyipit ketika tertawa, sepasang lesung pipit yang manis, serta suara yang merdu. Tidak perlu pertanyakan bagaimana hubungan kami; hanya bisa duduk di sini, memandanginya—punggungnya—dari jarak terdekat yang bisa aku jangkau sudah bisa menjadi jawaban bahwa selama ini aku hanya mencintai sendirian. Mungkin ia tidak pernah sadar bahwa ada seorang Aku eksis di dunia ini.

“Ru.” Sebentuk suara membuat pria itu, Ru, menoleh. Satu detik, dua detik, ia mematung seolah tidak percaya melihat siapa yang muncul. Lalu perlahan-lahan, sosok perempuan pemilik suara lembut itu muncul, bergerak ragu mendekati Ru. “Aku tahu kau ada di sini,” katanya dengan nafas agak tersengal, meski tidak setersengal ketika Ru muncul pertama kali.

Jika Ru ada di taman ini memang untuk berlari sebagai pengalih perhatian, perempuan itu tidak. Rambutnya berantakan, ia mengenakan pakaian rumah dan sandal kamar, matanya tampak bengkak, sepertnya cukup banyak menangis. Ia pasti terburu-buru kemari.

“Maafkan aku,” kata perempuan itu lagi, suaranya mendadak parau. “Aku tahu aku bodoh, berpikiran pendek, dan …” ia berhenti, memandang mata Ru dengan matanya yang perlahan berair. Perempuan itu begitu menyesal hingga terbaca dengan mudah di wajahnya, bahkan tanpa air mata itu. Jahat sekali Ru jika tidak memaafkannya.

Ru tersenyum. Manis sekali hingga jantungku pun ikut berdetak tidak karuan, padahal aku tahu senyum itu bukan untukku. Ru mendekat, selangkah, dua langkah, hingga jarak mereka begitu dekat.

“Dan?” tanya Ru.

“Dan… aku… mencintaimu.”

Aku mendadak terduduk tegak ketika detik berikutnya Ru mendaratkan sebuah kecupan lembut tepat di bibir perempuan itu. Seharusnya aku memalingkan wajah, namun aku begitu terkejut hingga hanya bisa mematung.

Hatiku hancur berkeping-keping. Ada gelombang panas yang menjalar dengan cepat. Rasanya sesak. Mataku memanas karena desakan air mata yang berusaha aku tahan. Sedih sekaligus kesal, kesal sekali hingga ingin memisahkan mereka saat itu juga.

Aku meraba meja kecil di sebelahku, kutemukan benda persegi panjang itu dengan susah payah, lalu dengan satu lambaian tangan, benda 29 inci di hadapanku mendadak menggelap.
“Drama bodoh!” umpatku kesal sebelum beranjak pergi.***

Makassar, 26 Juli 2015
Sachakarina
21:06

Categories: Cerpen, Fiksi, Flash Fiction | Tinggalkan komentar

Goodnight

image

Just turn of the light
Make me feel all right
Bidding farewell and goodnight
(Mocca – Goodnight Song)

*

Tahu-tahu saja playlist menyenandungkan sebuah lullaby dari Mocca. Lampu sudah dipadamkan, saya sudah akan tertidur ketika pikiran saya malah jatuh kepada seseorang yang hampir selalu mengirimkan selamat tidur untuk saya beberapa bulan belakangan.

Bagi sebagian orang mungkin terdengar biasa-biasa saja, namun bagi saya seolah ini adalah segalanya. Hal kecil yang bisa membuat saya tersenyum hingga terlelap tidur, dan bangun dengan lebih semangat.

Terkadang memang hal-hal kecil dan simpel seperti ini yang membawa kebahagiaan sangat besar di dalam hidup. Mungkin karena kita tidak banyak berekspektasi karena seringnya ekspektasilah yang mengecewakan kita.

Setelah melewatkan hari yang panjang dan melelahkan, bisa tersenyum ketika membaca pesan sesederhana ucapan selamat malam dan mimpi indah adalah penawar yang teramat mujarab untuk mengakhiri hari.

Tidak pernah ada alasan untuk tidak bersyukur.

Categories: #NulisRandom2015 | Tinggalkan komentar

Our Way

Happy tummy. Happy heart 🙂 – with Hiksan at Pancious

View on Path

Categories: Tak Berkategori | Tinggalkan komentar

Sepatu Kaca

gown

Sang Putri memang kuat. Senyum yang harus merekah pas. Tangis yang harus disembunyikan tepat. Takut yang harus disingkirkan jauh. Asa yang diam-diam dipupuknya sendiri. Dan gaun itu, gaun berat mempesona yang dibawanya mengitari lantai dansa, mengiyakan semua orang dengan senyum yang pas dan tangis yang ditelan, merelakan pinggangnya digamit pangeran-pangeran tak dinanti. Dibisiki kata yang semua orang akan bilang. Sang Putri memang harus kuat.

Namun ada hal-hal yang tak terbaca, terpatri di matanya yang perlahan berkaca.

Sang Putri sudah cukup memberi tanda. Ia lelah. Ia ingin berhenti sejenak, sebelum berjuang untuk sesuatu yang lebih besar; jika Sang Pangeran akhirnya puas bertanya.

*

Categories: 101 Kata, Fiksi, Flash Fiction | Tag: , , | Tinggalkan komentar

First Snow

love

Well, setelah sekian lama tidak menulis, saya ingin mencoba lagi. Saya memulainya dengan fan fiction agar tidak perlu bersusah payah mengimajinasikan tokoh. Tahap demi tahap, kata seorang teman. Saya juga mulai menuliskan cerita bersambung yang saya posting di Wattpad. Cerita itu bukan fan fiction tapi fiksi remaja yang ringan.

Jadi, selamat membaca.

***

Ayo bertemu saat salju pertama turun.

Begitu pesan terakhirnya berbunyi sebelum ia mengabaikanku tanpa kabar hingga saat ini. Oh baiklah,yang kumaksud hanya sehari, tapi rasanya seperti berhari-hari.

Aku sudah mencoba menghubunginya, teleponku dibiarkan terjawab suara perempuan—membuatku kesal—yang menggiringku ke kotak pesan. Sedangkan pesan teksku dibiarkan tidak terbaca hingga saat ini, akhirnya aku memutuskan menghapus riwayat obrolan kami agar aku tidak terus-terusan mengecek, yang membuatku jadi makin senewen di hari libur yang seharusnya menyenangkan.

Apa yang akan terjadi jika salju pertama turun? Di mana kami akan bertemu? Kami bahkan tidak sempat membahas tentang ini.

Aku sangat menantikan turunnya salju pertama tahun ini.

Begitu menanti sekaligus takut. Bagaimana jika dia tidak datang? Bagaimana jika dia lupa pernah berjanji padaku? Bagaimana dengan hatiku?

Aku dan Siwon bertemu pada akhir musim panas lalu, di sebuah acara amal pengumpulan buku untuk anak-anak yang membutuhkan. Aku menyumbangkan koleksi komik-komik dan buku anak yang mengambil cukup banyak tempat di gudang, dan nyaris di bakar Ibuku jika aku tidak menelepon sehari lebih cepat untuk mengabarkan bahwa aku akan mengambil koleksi-koleksi itu untuk disumbangkan.

Siwon menyumbangkan buku-buku dongeng, beberapa versi terjemahan, selebihnya versi asli berbahasa Inggris yang sepertinya masih baru karena warna kertasnya masih putih bersih, berbeda dengan sebagian besar buku di situ yang kertasnya sudah menguning. Lagipula, semua pecinta buku tidak akan pernah bisa dikelabui oleh wangi buku yang segelnya baru saja dibuka.

Aku meminjam satu dari banyak buku yang dibawanya untuk kubaca di tempat. Tidak banyak yang bisa kubaca, meski aku ingin sekali menenggelamkan diri dalam tumpukan buku dongeng itu dan dibawa terbang oleh imajinasi. Namun, dua bagian dongeng pendek sudah cukup bagiku, menjadi lebih dari cukup lantaran ia mengajakku mengobrol seru di sisa hari itu, seolah kami adalah teman lama yang sedang bernostalgia tentang masa lalu kami yang tak pernah habis. Ia begitu pandai membangun obrolan.

Obrolan-obrolan kami terus berlanjut setelah itu, baik melalui pesan, telepon atau mengalokasikan waktu luang agar bisa bertatap muka secara langsung.

Ia pernah berbaik hati mengajakku ke apartemennya yang besar dan dihuninya sendiri. Ia memasak doenjang chiggae[1], hobak jeon[2] dan ayam saus asam manis yang begitu sedap—ia menolak dibantu namun aku berhasil memaksanya agar membiarkanku membereskan dapurnya yang tidak seberapa berantakan. Ia juga menunjukkan perpustakaan pribadinya; ruang kerja sekaligus perpustakaannya. Rak-raknya menjulang tinggi yang membuatku bertanya-tanya bagaimana ia mengambil buku itu jika dibutuhkan, dengan tangga?

Hampir semua jenis buku ada di sana, mulai dari buku mengenai perundang-undangan yang susah kumengerti hingga buku dongeng yang begitu berwarna. Sebuah meja kerja berisi tumpukan pekerjaannya—oh, ia bekerja di sebuah biro hukum terkemuka dengan catatan prestasi yang memuaskan—ada di tengah ruangan serta sebuah sofa yang begitu nyaman ada di dekat jendela, tempat yang bagus untuk membaca.

Tahu apa yang aku pikirkan saat itu? Aku ingin pindah ke apartemennya! Apartemenku yang kecil, hanya memiliki dua kamar, dan kutinggali bersama sahabatku, Sunhee, tidak mengakomodasi keinginanku untuk bisa memiliki perpustakaan pribadi. Hanya ada buku-buku yang kuanggap penting di kamarku, koleksi bukuku yang lain kuungsikan di rumah orang tuaku yang sedikit lebih besar.

Tring

Aku terlonjak begitu mendengar notifikasi dari ponselku. Kusambar benda selebar lima inci itu secepat yang aku bisa, berharap itu pesan dari Siwon.

Hembusan nafasku menjadi berat begitu kulihat ternyata pengirim pesan itu adalah Sunhee, bukan Siwon seperti yang aku inginkan. Sahabatku itu memberi kabar bahwa ia akan pulang telat malam ini. Aku benci sendirian terutama di saat-saat sedang kalut seperti sekarang.

Aku dan Siwon tidak berpacaran. Paling tidak begitu aku membahasakannya. Belum, kata Sunhee. Status hubungan itu membuatku jadi bingung harus memosisikan diri bagaimana. Aku ingin menuntut lebih tapi merasa tidak punya hak, ingin mengabaikan tapi tidak sanggup. Sepertinya dia tidak punya bayangan sama sekali sesering apa dia muncul di pikiranku.

Aku mendesah panjang, bangkit dari dudukku yang menyisakan kusut di ujung seprei. Kuayunkan tungkaiku dengan lesu ke arah pintu yang menghubungkan kamarku dengan balkon.

Angin masa peralihan dari musim gugur ke musim dingin menyapu wajahku seketika, membuatku menutup mata untuk beberapa detik ketika harus menyesuaikan dengan temperaturnya yang terasa mampu membekukan. Rasa dingin itu tidak membuatku gentar, hanya bermodalkan selembar syal merah tebal yang melilit leher dan sweater rajut aku melangkah keluar menuju balkon. Berdiri diam di sana, memandangi jauh ke ujung jalan, berharap sesosok pria yang mendominasi pikiranku berjalan makin dekat ke arahku. Ah.

Angin berhembus lagi. Dinginnya terasa menusuk hingga tulang, memberi sensasi mati rasa untuk sesaat, yang anehnya kusukai. Aku ingin anginnya lebih kencang lagi.

Urusan perasaan ini ternyata pelik juga. Kapan aku bisa berhenti bertanya-tanya mengenai perasaannya padaku selama ini? Aku berharap aku adalah seorang gadis tegas yang tak pernah takut mengutarakan perasaannya pada seseorang yang disukainya. Sebagai seorang pendidik, aku bisa dibilang cukup tegas jika berada di kelas, tapi tidak untuk urusan seperti itu.

Lalu, butiran salju yang putih itu tertangkap pandangan mataku. Semakin lama semakin banyak. Kuulurkan tangan, satu-satu mendarat dengan mulus di telapak tangan tak bersarungku.

Denyut jantungku tahu-tahu melonjak.

Salju pertama.

Siwon.

Apa yang harus aku lakukan?

Aku harus bagaimana sekarang?

Berlari ke apartemennya seperti di drama-drama? Atau menungguinya di sini? Ataukah aku harus pergi ke suatu tempat, Namsan Tower, misalnya?

Aku mendesah panjang, lantas memutuskan menyerah melawan temperatur. Hidungku mulai memerah dan tanganku mulai kebas. Aku naik ke tempat tidur, menarik selimut dan bergelung di sana. Pertanyaan-pertanyaan tentang Siwon terus menganggu ketenanganku.

Mengapa aku terlihat semenyedihkan ini?

Tanganku menjulur ke arah nakas di mana ponselku kuletakkan terakhir kali, namun aku berhasil menahan diri. Tidak ada pesan! Tidak ada! Demi Tuhan, ponselmu dalam mode dering, dan ponsel itu sunyi senyap sejak Sunhee mengirim pesan terakhir kali. Tidak akan ada pesan dari Siwon!

Aku berhasil menarik tanganku kembali, menyelipkannya ke bawah bantal dan menutup mata. Namun beberapa detik kemudian, tangan itu terjulur kembali dan tak ada yang bisa menahan lagi. Aku mendesah kecewa ketika hanya melihat foto keluargaku sebagai wallpaper, tidak ada hal lain. Bodoh.

***

Aku berdiri sendirian di atas hamparan salju yang sepertinya tidak berujung. Salju menghujaniku. Salju pertama yang membuatku mendamba. Salju itu halus, putih dan ringan. Namun lama kelamaan menjadi bervolume, makin besar, makin berat, lantas menjadi butiran es yang menghantam kepalaku dan menimbulkan suara ketukan yang beritme teratur.

Tok. Tok. Tok.

Aku membuka mata dengan kaget. Kusadari tubuhku ada di atas kasurku yang hangat bukan di hamparan salju. Bunyi itu….

Ada yang mengetuk pintu. Belum saatnya Sunhee pulang, dan tidak ada sejarahnya ia mengetuk pintu. Kutendang selimutku lantas melompat bangun. Aku menyempatkan diri menoleh ke arah cermin sebelum berlari ke pintu.

Aku menarik gagang pintu depan dengan sentakan keras, lalu menyesal setengah mati mengapa tidak mematut diri lebih lama di depan cermin karena yang berdiri di hadapanku sekarang adalah orang yang memenuhi pikiranku sepanjang hari ini, well, sepanjang waktu seminggu ini, mungkin sebulanan ini, entahlah, aku sendiri sudah tidak sadar kapan dia mulai mendominasi pikiranku.

Siwon berdiri di sana. Tersenyum ke arahku. Mengenakan mantel tebal di balik setelan kerjanya, sebagian rambutnya basah, sebagian lagi masih diputihi salju yang juga perlahan mencair. Ada lingkaran hitam di bawah matanya, mengindikasikan bahwa ia sebenarnya lebih butuh tidur daripada menemuiku. Ia terlihat lelah tapi itu tidak melunturkan semangat dari matanya.

Ia menoleh ke arah jendela di ujung lorong di sebelah kanannya. “Salju pertama turun hari ini, kau tahu?”

Aku mengerjap-ngerjap. “I-iy…a,” jawabku gagu. Sial. “Iya, aku tahu,” tambahku kemudian, berusaha terdengar lebih terkendali.

“Kau sendirian?” tanya Siwon sembari melongok ke dalam dari balik bahuku.

Astaga. Sial! Sial!

Aku langsung menyadari kebodohanku sendiri; membiarkan ia berdiri di depan pintu padahal udara cukup dingin. Aku menggeser tubuhku begitu tiba-tiba hingga oleng dan menabrak dinding. Ia sangat terkejut.

“Hati-hati,” ujarnya khawatir. “Kau bisa melukai dirimu sendiri.”

Buru-buru kutegakkan kembali posisiku. “Tidak, aku baik-baik saja. Masuklah.” Kali ini aku menggeser tubuhku lebih hati-hati ke samping agar ia punya cukup ruang untuk masuk. “Aku sedang tertidur, bermimpi tentang salju yang berubah jadi butiran-butiran es yang menghantam kepalaku, terbangun dengan kaget dan mendengar ketukanmu,” celotehku tanpa sadar.

Ia berhenti melangkah dan memutar tubuhnya, aku mengerem langkah mendadak. Jarak kami tidak lebih semeter. Ia menatapku dan tersenyum. Senyum itu…

Astaga, apa yang sudah aku lakukan? Apakah aku sebegini gugupnya sampai membicarakan hal yang tidak perlu ia tahu? Aku memainkan ujung sweaterku. “Apa?” tuntutku, karena ia terus saja menatapku. Itu membuatku salah tingkah.

Ia masih tersenyum, lalu menggeleng. “Kau baru bangun tidur,” Keningku mengeryit tidak mengerti. “ini pertama kalinya aku melihatmu. Kau…”

“Astaga, apakah aku terlihat buruk?” Panik, kusisir tanganku dengan tangan.

Ia menangkap pergelangan tanganku. Aku membeku. Kurasakan darah mulai berkumpul di wajahku.

Ia menurunkan tanganku ke sisi tubuh. “Tidak. Kau tidak terlihat buruk.” Ia melepas genggamannya. Ada bekas hangat di sana, yang menjalar sampai hatiku. “Kau…” Ia membiarkan kalimatnya menggantung. Aku menjadi frustasi karenanya.

Tanpa dipersilahkan, seolah itu rumahnya sendiri (padahal ini baru kali kedua ia datang), ia duduk di sofa dengan nyaman, membuka buku yang ada di meja. Buku teks Sastra Korea milik sekolah. Aku menatapnya dengan takjub. Ia sungguh tak tertebak.

Menyadari aku masih berdiri di sebelahnya, ia menatapku dengan heran. “Apa yang kau lakukan di situ? Kau tidak berganti pakaian?” Hah? Aku mengerjap-ngerjap lagi. “Biasanya aku cukup sabar, tapi kali ini aku tidak sedang ingin menunggu lama. Hari ini spesial.”

Hah? “Mau ke mana?”

Pertanyaanku begitu bodoh. Seharusnya dia heran mengapa aku bisa menjadi seorang pendidik jika aku sangat lemot seperti sekarang, namun ia hanya menatapku gemas.

Apakah aku sudah mengatakan aku sungguh jatuh cinta pada pria ini?

“Bagaimana menurutmu jika kita ke Namsan Tower? Seperti pasangan-pasangan lain menikmati salju pertama mereka?”

Oke. Aku mencacat kata pasangan baik-baik. Ia pasti memaksudkan kami juga.

Ia mengajak kencan!

“Baiklah. Tunggu di sini, aku tidak akan lama. Kau mau minum sesuatu? Atau kau bisa mengambil sendiri di dapur. Bisa kan?”

Ia mengangguk sekilas. Aku melangkah ke kamar mandi, menahan diri agar tidak menjerit.

***

“Sudah kubilang seharusnya kau mengenakan pakaian lain, pakaianmu itu terlihat tidak cukup hangat.” Lagi-lagi ia melirik mantel berwarna putih tulangku.

Aku mendelik. “Dan sudah kubilang, ini sangat hangat, aku bahkan tidak sadar kalau ini winter. Kau mau mencobanya?”

Ia tidak mengatakan apa-apa. Mantelku ini sangat hangat, dari luar mungkin terlihat tidak cukup meyakinkan tapi bagian dalamnya terbuat dari fur yang begitu nyaman.

“Apakah terlihat cantik begitu penting?” tukasnya kemudian.

Aku mulai terganggu. “Astaga. Ini hangat. Percayalah. Kalau kau tidak percaya dan terus saja mengkhawatirkan yang tidak perlu, kau bisa berikan mantelmu padaku.” Aku tidak percaya bahwa aku mulai mengancam. “Lagipula syal ini,” aku menyentuh syal merahku yang begitu tebal dan nyaris menutupi mulutku. “juga membantu. Kalau kau takut aku kedinginan, bagaimana kalau kita pulang saja? Hari bersalju memang sudah seharusnya dingin.” Aku mengomel. Oh, tidak.

Ia tertawa. Aku masih kesal.

Ia menarik lepas kaos tangan kirinya, lantas menangkap pergelangan tangan kananku yang bebas di sisi tubuh dan menarik lepas kaos tangan yang melindunginya. Ia mengunci jari-jariku dengan jari-jarinya. Suhu tangan kami berbeda; suhunya lebih tinggi. Hal terakhir yang dilakukannya adalah menjejalkan pertautan tangan kami ke dalam saku mantelnya yang hangat. Irama jantungku melonjak drastis.

“Aku memang sangat khawatir kau kedinginan, tapi kita bisa berbagi kehangatan dengan hal-hal kecil seperti ini,” ujarnya ringan. Senyum tidak pernah pudar dari wajahnya.

Sungguh aku tak ingin bertanya apa-apa lagi. Aku hanya ingin menikmati waktu bersamanya. Menikmati salju pertama kami.

-The End-

21.12.2014

Sach

[1] sup berisi kimchi, dan daging atau makanan laut

[2] Pancake Korea yang terbuat dari Zukini

Categories: Fanfict | Tag: , | Tinggalkan komentar

Regret

s[a

Entah bagaimana aku berakhir dengan menyesali semua ini. Malam ketika kau mengajakku berkencan, yang kutanggapi dengan bercanda karena kupikir kau memang begitu, tapi kau menganggapnya sebagai sebuah penolakan. Aku tidak tahu mana yang benar. Ketika kurasa kau agak menjauh dariku, tidak ada lagi sapaan dan candaan yang menyegarkan, aku mulai berpikir bahwa kau sebenarnya tidak bercanda. Kau hanya mengatakannya dengan bercanda tapi kau bisa saja bermaksud serius. Atau hanya aku yang terlalu berlebihan.

Kau selalu bilang aku selingkuhannya, yang kupilih untuk kuabaikan. Candaan-candaan yang kadang keterlaluan seperti itu sudah jadi kebiasaan kita, jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Aku pernah mendengar (Mungkin dari film) bahwa ketika seseorang mengatakan dia menyukaimu, kau akan memperhatikan orang itu dengan cara yang berbeda. Kau memang tidak bilang kau menyukaiku (Kau hanya dengan tiba-tiba mengajakku berkencan–jadi bagaimana mungkin aku tidak bingung), yang jelas aku merasa sudut pandangku kini berbeda.

Mungkin kita memang bisa bersama. Mungkin salah mengabaikanmu. Mungkin dulu aku seharusnya mengatakan “iya”. Dan mungkin aku TIDAK BOLEH memikirkan hal-hal seperti itu.

Categories: Tak Berkategori | Tinggalkan komentar

Jangan Sapa Saya Begitu!

Kisah-Mengharukan-Seorang-Kakak-Perempuan-Dan-Adik-Laki-Laki-Nya

“Kenapa, Dek?”

Saya menoleh ke kanan dengan terkejut. Tidak percaya dengan apa yang baru saja saya dengar—saya sangat berharap salah dengar, menerima kenyataan bahwa telinga saya rusak pun tidak masalah, asal saya benar-benar salah dengar!

Saya mengerjap sekali. Kamu tersenyum manis.

“Tidak,” saya bersuara, tapi memutuskan tidak menjelaskan lebih jauh lagi mengapa saya kesal pada seorang teman. “Kok Adek?”

“Hah?” Kali ini kamu yang bingung.

Saya menarik nafas panjang.

“Kok saya tiba-tiba dipanggil Adek?”

Kamu mengamatiku beberapa detik dengan heran, kemudian mengangguk mengerti. Sambil tersenyum. “Saya kan memang jauh lebih tua.”

Iya. Saya tahu. Tapi sebelum-sebelumnya kamu tidak pernah memanggil saya dengan embel-embel adik. Kamu selalu menggunakan nama saya ketika menyapa. Dipanggil adik oleh kamu adalah sesuatu yang baru untuk saya. Yang membuat saya jadi takut.

“Kamu cuma nganggap saya adik?” Bodohnya saya yang tidak bisa bertanya langsung seperti itu kepada kamu. Karena saya tahu bagaimana tanggapan kamu. “Kamu kan juga manggil saya kakak.”

Pasti begitu.

Saya memang memanggil kamu kakak, karena—seperti alasanmu—kamu memang jauh lebih tua dari saya. Tapi saya memanggilmu Kakak hanya demi kesopanan—tidak sopan memanggil seseorang yang lebih tua hanya dengan namanya saja—bukan karena saya benar-benar menganggap kamu kakak. Saya menyukai kamu, dan saya tidak suka dipanggil adik oleh kamu.

Adalah hal yang menyedihkan hanya dianggap adik oleh seseorang yang kita suka.

Tidak bisakah kamu mengerti itu?

Oke, dianggap adik dan dipanggil  adik memanglah dua hal yang sangat berbeda. Namun bagi saya itu sama saja, lantaran saya tidak bisa menebak dengan benar bagaimana perasaan kamu yang sebenarnya pada saya. Saya berada di titik ragu yang kritis. Selama ini kamu selalu membuat saya ragu.

Semakin ragu gara-gara panggilan yang tidak kusangka-sangka itu.

“Kamu ngantuk, Dek?” Suaramu terdengar lagi. Saya terkejut lagi. “Saya pulang deh kalau gitu,”

“Jangan!” seru saya cepat-cepat ketika kamu bangkit. “Saya… sa… ya…”

“Uhm?” Kamu memiringkan kepala dan menatap saya penuh tanya.

Seharusnya saya bilang, “Boleh enggak, enggak manggil saya Adik?” atau “Saya enggak suka dipanggil Adik” atau “Kamu enggak nganggep saya adik kan? Itu cuma sapaan karena kesopanan juga kan? Kamu akan memperlakukanku seperti perempuan lain kan?”

Sayangnya semua cuma bisa melintas di kepala saya satu-satu tanpa bisa kuutarakan langsung. Saya malah menggeleng pasrah dan kamu menyambutnya dengan mengacak rambut saya gemas. Lalu pergi.

Kalau sikap kamu begitu, sampai kapan saya akan bertanya-tanya apakah kamu melihat saya sebagai seorang wanita atau hanya menganggap saya sebagai seorang adik?***

 

Sach.

Makassar, 14 April 2013

21:31

Categories: Cerpen, Flash Fiction | Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.