Posts Tagged With: Cerpen

Memang Selalu Kamu

Aku melihat tantemu masuk ke halaman rumahmu dengan tergesa-gesa. Anak yang berada di gendongannya seperti sama tidak sabarnya ingin masuk ke dalam rumah dan segera bermain.

Aku terus mengamati dari balik jendela kamar di lantai dua rumahku. Apa kamu tahu? Aku selalu mengamatimu dari sini. Dari kamarku. Padahal untuk menemuimu aku hanya perlu menyeberang jalan, beberapa langkah saja dari rumahku dan aku bisa menatapmu dalam jarak yang sangat dekat.

Tapi aku senang menatapmu dari sini. Aku selalu senang setiap kali aku melihat kamu masuk ke halaman rumahku lalu aku akan  segera berlari menuju pintu agar tidak ada yang mendahuluiku membukakan pintu untukmu.

Seperti saat ini juga, aku melihatmu mengantar tante yang datang tadi sampai di depan gerbang rumahmu. Lalu kamu merogoh kantong. Aku segera meraih ponsel yang tergeletak di tempat tidur.

1…2…3…

Drrttt…

Telepon darimu. Jelas. Aku membiarkan ponselku bergetar beberapa saat sebelum mengangkatnya, menikmati debaran jantungku yang memompa tidak karuan mendengar nada dering yang khusus kupakai agar aku bisa mengenali dengan cepat telepon darimu. Aku tidak peduli dadaku terasa agak sakit karena entakan keras di baliknya. Aku senang. Bahagia. Karena ini rasa yang kurasakan padamu. Selalu.

Sudah dua tahun sejak aku mengenalmu tapi aku tidak pernah bisa mengatasi rasa seperti ini jika berada di dekatmu. Responku selalu sama. Deg-degan. Sebentar lagi mungkin aku akan diserang penyakit jantung karenamu.

Ah, aku tidak peduli!

“Ke rumahku, yuk!” katamu saat kuangkat teleponmu. “Butuh bantuan seorang perempuan nih!” Aku tersenyum mendengar suaramu yang memohon, raut wajahmu dari sini juga terlihat jelas. Kamu terlihat lucu.

Kamu terdengar yakin aku pasti akan membantumu. Kamu tidak bertanya apakah aku sedang sibuk?

Benar. Tidak perlu! Karena waktuku selalu ada untuk membantumu. Aku senang merasa dibutuhkan olehmu.

“Tunggu aku di sana!” kataku cepat lalu mematikan telepon. Aku berlari menuruni tangga dan mengatur nafasku yang  memburu sebelum membuka pintu rumahku. Tidak lebih dari dua menit aku sudah berdiri di hadapanmu. Kamu tersenyum.

Aku mengikutimu masuk ke dalam rumah yang sepi, ternyata tidak ada orang rupanya, hanya kamu saja. Aku melihat seorang anak laki-laki berumur 3 tahun sedang bermain mobil-mobilan di atas karpet di depan televisi. Ah, ya. Aku ingat. Anak ini yang tadi digendong oleh tantemu. Sepupumu. Pasti dititipkan padamu.

Jadi, kamu memanggilku untuk membantumu menjaga anak ini? Kamu memang sangat tahu kalau aku menyukai anak kecil apalagi yang lucu seperti sepupumu ini.

Apa lagi yang kamu ketahui tentang aku?

Kamu tahu aku suka cokelat!

Kamu tahu aku suka permen susu!

Kamu tahu aku suka pelangi!

Kamu tahu aku tak suka buah pisang!

Kamu tahu aku tak suka wangi minyak kayu putih!

Aku jadi bertanya-tanya, apa yang tidak kamu ketahui tentang aku?

Mungkin kamu tidak tahu kalau aku menyukaimu!

Kamu tak perlu tahu.

Aku ingin rahasia kecil itu milikku sendiri.

Apakah aku sudah mengatakan bahwa sepupu kecilmu ini sangat lucu? Pasti akan seperti kamu jika sudah dewasa nanti. Aku yakin akan banyak gadis-gadis yang menyukainya juga. Seperti kamu.

Tanpa kita sadari hujan sedang mengguyur dengan sangat lebat di luar. Tapi kita tidak peduli, kita berada di dalam rumah yang hangat, aman dan sedang bermain dengan gembira. Bersamamu selalu hangat dan aman. Apa yang perlu kita khawatirkan? Apa yang perlu aku khawatirkan?

Lalu sepupumu merengek minta dibuatkan susu, kamu bangkit tanpa mengeluh lalu beranjak menuju dapur. Itu yang aku sangat suka darimu. Kamu terlihat begitu ikhlas ketika mengerjakan sesuatu, tanpa beban, tanpa mengeluh sama sekali. Itu juga sebabnya aku tak pernah bisa menolak jika kamu butuh bantuan. Aku ingin sepertimu. Keikhlasanmu.

Aku mengikutimu menuju dapur. Aku bersandar di pintu dapur dan mengamatimu. Kamu seperti seorang Ayah yang membuat susu untuk anaknya. Senyum tersungging di bibirku kala membayangkan itu. Membayangkan kamu!

Tidak. Tidak. Jangan pedulikan apa yang aku pikirkan! Pikiranku sedang ngelantur. Pikiran warasku tertelan euphoria keindahan yang memanjakan mataku. Kamu lagi!

Aku kembali ke ruang tengah, dan betapa kagetnya aku saat melihat sepupumu sudah tidak lagi berada di tempatnya beberapa menit lalu bermain. Pintu depan terbuka lebar. Aku memekik tertahan. Sepupumu yang ternyata agak bandel itu  ada di taman. Bermain air. Basah karena hujan. Aku berusaha memanggilnya tapi dia mengabaikanku. Dia senang bermain lumpur.

Tanpa pikir panjang aku ikut menerjang hujan yang lumayan deras. Aku menggendong sepupumu agar mudah dibawa masuk ke dalam rumah lagi. Aku takut dia bisa sakit. Aku takut kamu marah padaku karena dengan ceroboh meninggalkan sepupumu tanpa pengawasan.

Kamu berdiri menatapku di depan pintu. Segelas susu cokelat hangat tergenggam di tanganmu. Kamu menatapku kaget, takjub, juga kasihan. Kamu kasihan melihatku basah kuyup begini? Jangan. Aku tak suka dikasihani apalagi untuk hal sepele seperti ini. Di depanmu aku selalu ingin terlihat kuat.

Berbasah-basah, aku langsung membawa sepupumu ke kamar mandi untuk memandikannya. Aku merasa tidak enak padamu. Lantai keramikmu yang putih bersih jadi kotor. Basah dan berlumpur.

“Udah, biarin aja lantainya basah. Nanti aku bersihkan!” katamu.

Lalu kamu pergi meninggalkanku yang sedang sibuk dengan sepupumu. Agak lama aku memandikannya karena dia sangat suka bermain air dan dia tidak mau berhenti bermain. Kamu menyodorkan dua buah handuk. Yang berukuran besar untukku dan yang lebih kecil untuk sepupumu. Pakaiannya pun sudah kamu siapkan. Dan pakaianku juga?

“Kamu mandi juga gih, pakaian gantinya udah diambilin tuh!” katamu kasual. Aku takjub.

Aku mengutuki diriku sendiri yang hanya bisa mengangguk saja. Bahkan ucapan terima kasih tak mampu terucap. Kata-kata itu tertelan rasa bahagia. Aku bahagia sekali akan perhatianmu.
Kamu hujan-hujanan ke rumahku hanya untuk mengambilkan pakaian? Pantas saja pakaian dan rambutmu agak basah, itu karena titik hujan rupanya. Kamu pakai payung, kan? Tidak langsung menerjang hujan, kan?

Kamu memang baik sekali. Dan tindakanmu itu juga berarti kamu masih mengizinkanku untuk tetap menemanimu di sini, setidaknya sampai sore nanti.

Lalu kita duduk bersisian di sofa di ruang tengah sambil menonton film kartun. Segelas susu cokelat hangat baru saja kuteguk habis. Lengan kita saling bersentuhan. Lenganmu terasa hangat, tapi lenganku seperti ingin membeku. Sepupumu terkantuk-kantuk di atas pangkuanmu lantas tertidur tidak lama kemudian. Aku sebenarnya juga sangat mengantuk.

“Kita seperti satu keluarga kecil, yah!” Kalimatmu berhasil membuatku terkesima.

Kaget.

Takjub.

Senang.

Melayang.

Berharap!

Aku mencerna kata-katamu. Aku. Kamu. Satu keluarga? Bukankah itu terdengar sangat indah? Pipiku perlahan merona.
Kamu menatapku penuh makna dengan mata hitam yang menghayutkan. Senyum manis tersungging di bibirmu. Aku meleleh.

Aku segera memalingkan muka karena aku tidak berani menatap matamu. Aku takut tersesat di sana. Aku berganti memandangi TV untuk menutupi kegugupan yang tiba-tiba menderaku.
Aku hanya bisa berharap semoga saat kamu mengatakan kalimat itu, malaikat sedang lewat dan mencatat perkataanmu. Bukankah perkataan adalah doa? Dan aku selalu percaya itu!

Aku sudah tidak kuat lagi menahan kantuk hingga aku akhirnya terkulai di bahumu.

Dibuai mimpi tentang kamu.

Tentang kita.

Tentang keindahan.

Memang selalu kamu! ***

2011
Sachakarina

Categories: Tak Berkategori | Tag: , | Tinggalkan komentar

Bukit Sikatamui

image

Nianda berdiri di tepi jalan, ia memandangi  sebuah bukit yang dikelilingi sawah kering. Ia berusaha mengorek kenangan masa lalunya yang masih tersisa. Di bukit itu, tempatnya menghabiskan waktu bermainnya sepuluh tahun lalu kini tampak sangat berbeda.

Ia merindukan masa kecilnya.

***

“Aku punya rahasia.” bisik Radi.

Nianda menoleh kepada sahabatnya, sarat akan rasa penasaran. “Apa?”

“Aku menemukan sebuah bukit rahasia, hanya kita berdua yang tahu. Kau mau ke sana?” Nianda mengangguk dengan antusias, ia meninggalkan bonekanya di teras begitu saja. Bertualang jauh lebih seru.

Radi membawa Nianda melewati pematang-pematang sawah yang agak berlumpur. Para petani bersuka cita, hujan semalaman membuat debit air di sawah menjadi berlimpah. Kaki Nianda tenggelam di kubangan berkali-kali hingga membuat semua bajunya kotor, ia sudah menjinjing sendalnya sejak alas kakinya itu ikut tertinggal dalam kubangan lumpur dan Radi harus mencarikan untuknya.

Mereka tiba di sebuah bukit tidak lama kemudian. Bukit itu cukup kecil, diameternya sekitar tujuh meter dan hanya ada sebatang pohon mahoni yang tumbuh di tengahnya.

“Aku yang menemukannya, aku menamakannya bukit Sikatamui.” Radi berujar dengan bangga. Ia merasa seperti seorang Christopher Colombus yang menemukan benua Amerika.

Nianda mengedarkan pandangan ke sekeliling, di bawah sana terlihat sebuah jalan setapak yang bayak dilalui orang-orang. Ia tidak mengerti mengapa Radi mengajaknya melewati sawah yang rutenya memutar padahal ada jalan yang lebih mudah untuk dilalui, mereka tidak perlu kotor-kotoran begini. Bukit rahasia? Nianda tidak yakin bahwa ini sebuah rahasia karena semua orang sepertinya tahu (meski ia memang baru ke tempat itu) tentang bukit kecil itu. Setahunya, tempat rahasia adalah tempat yang tidak ada seorang pun yang tahu, bukan sebuah bukit yang tidak jauh dari mereka terlihat beberapa wanita yang nampak mencuci dan mandi di sumur di tepi sawah.

Tapi dunia anak-anak bukanlah dunia yang penuh logika. Nianda menyukai bukit ‘rahasia’ yang ditemukan Radi ini. Apalagi Radi hanya berbagi padanya.

“Kenapa namanya Sikatamui?”

“Karena…” Radi mencari alasan. “karena itu terdengar keren.” lanjutnya. Nianda tidak bertanya lagi karena ia sama bingungnya dengan Radi. Arti nama bukanlah masalah, yang penting ini adalah bukit mereka berdua.

Mereka bersandar di bawah pohon untuk waktu yang lama, matahari bersinar tidak begitu terik serta angin yang berhembus pelan membuat mereka seperti terbuai. Mereka mampir ke sumur yang saat ini sudah sepi untuk membersihkan lumpur yang sudah mengering di tubuh mereka lalu pulang melewati jalan setapak agar lebih dekat.

Dan Nianda paling suka ke tempat itu ketika pohon mahoni sedang menggugurkan daunnya saat musim kemarau datang, ia sangat suka moment dimana ia duduk di bawah pohon dan daun-daun kecoklatan itu menerpanya. Jika angin sedikit lebih kencang, Ia dan Radi akan berlomba menangkap buah mahoni yang ringan. Mereka harus mencuci tangan dengan bersih jika tidak ingin rasa pahit buah mahoni itu tetap menempel lama di tangan mereka.

Hari-hari yang indah.

***

“Kau merindukan tempat itu?” Nianda terlonjak kaget dan lamunannya buyar seketika, tahu-tahu Radi sudah ada di sebelahnya. Ia tidak benar-benar tahu bahwa sahabat kecilnya itu ada di desa kecil ini juga.

Belum sempat Nianda memberikan respon, Radi sudah mencengkeram pergelangan tangannya dan menariknya menuju bukit itu. Ia bisa merasakan sesuatu yang tidak terdeskripsikan menyusup di hatinya namun ia menikmatinya.

Pohon mahoni itu sudah tidak ada, kini tergantikan bangunan kecil setengah jadi yang terabaikan.

“Bukit rahasia kita dulu kini jadi rahasia umum.” ujar Radi.

Nianda tertawa pelan, “Bukannya sejak dulu memang sudah rahasia umum? Kita saja yang tidak umum sehingga tidak mengetahuinya. Sayangnya, ada yang menebang pohon mahoni di sini.”

Kini dinding bata yang menjadi tempat mereka bersandar, bukan lagi pohon rindang seperti dulu.

“Tapi dulunya kau sangat bahagia ketika pertama kali kuajak ke sini.”

“Itu karena aku masih anak-anak,”

Radi tampak kecewa, gadis di sebelahnya ini sudah penuh dengan logika, padahal ia ingin saat ini mereka digunakan untuk mengenang semua masa lalu itu, bermain-main dengan imajinasi. Mereka baru bertemu kembali setelah tiga tahun berpisah, ternyata jarak telah menciptakan jurang yang sangat jauh di antara mereka. Radi merasa dirinya konyol masih tetap mempertahankan kenangan masa kecil itu.

“Tapi bukit Sikatamui ini, akan jadi bukit ‘rahasia’ kita sampai kapan pun.” ujar Nianda, ia menoleh ke arah Radi sembari tersenyum manis. Senyum Radi ikut mengembang. Kenangan itu tidak akan pernah hilang di ingatan mereka, mereka akan selalu diikat oleh semua itu.

Benar kata Nianda, tempat itu akan selalu menjadi tempat rahasia mereka berdua, tak peduli berapa banyak orang lain yang tahu. Toh tak ada yang tahu bahwa mereka menutup pertemuan hari itu dengan sebuah kecupan manis di bibir masing-masing.
***

Cha.

Gambar: We Heart It

Categories: Cerpen, Flash Fiction | Tag: , , | Tinggalkan komentar

Dia Tak Lagi Cantik

 

 

“Aku cantik!” katanya sambil menyentuh pipinya yang kemerahan dengan kedua tangan. Dia tersenyum manis sambil berputar-putar menunjukkan gaun sutra barunya padaku. Berwarna merah darah. Warna kesukaan Rey, pacarnya.

Tulang pipi tinggi, kulit gading, bulu mata lentik alami, sepasang lesung pipi dan mata berwarna coklat keemasan. Dia memang cantik. Aku tahu. Tapi aku muak mendengar semua ceritanya. Aku bosan mendengar suara merdunya. Bahwa dia cantik. Bahwa kulitnya bagus dan itu membuat semua orang iri.

Suatu kali dia  mendatangiku dengan terburu-buru dan seketika histeris saat mendeteksi sebuah jerawat merah ranum menghiasi jidatnya, karena hormon di tubuhnya yang sedang tidak seimbang.

Kadang dia duduk di depanku, menopang dagunya dengan tangan, menunjukkan kukunya yang di kutek dengan warna berbeda-beda setiap hari. Menceritakan tentang pacarnya dan acara kencan mereka hari itu. Rey sangat menyukai wangi parfum barunya, warna highlight rambut barunya, warna kutek barunya, sepatu barunya, baju yang dikenakannya.

Setelah puas dengan penampilannya dia melangkah pergi, meninggalkanku dalam keheningan. Aku menghitung detik-detik yang berlalu, berharap dia pergi lebih lama. Aku tahu apa yang akan diceritakannya saat dia kembali nantinya.

***

Pintu terbuka. Dia masuk dan duduk di hadapanku. Air matanya merebak, mencipta jejak-jejak kehitaman di pipi karena maskaranya luntur terkena air mata. Lipstiknya melenceng dari garis bibir. Dia tampak kacau.

“Aku cantik kan?” Dia bertanya. Aku terdiam. “AKU CANTIK KAN??” Dia berteriak, menuntut jawaban yang tak bisa kuberikan. Aku hanya terus memandanginya dalam diam. “Dia selingkuh. Dia mengatakan aku yang paling cantik tapi dia tetap selingkuh.” Dia tersedu-sedu sambil meracaukan banyak hal.

Entah mengapa aku tak merasa bersimpati sama sekali. Dia menatapku lama, seperti tahu apa yang sedang kupikirkan. Lalu semuanya berlalu dalam hitungan detik. Dia meraih botol parfum mahalnya dan melemparkannya padaku. Aku melihat dia jatuh bersimpuh dari balik potongan-potongan tubuhku yang tercecer di lantai.

Tangannya bergetar, entah apa yang dia pikirkan saat dia meraihku dalam genggamannya. Darah segar—sewarna gaunnya—mengucur dari wajah mulusnya.

Kini, dia tak lagi cantik.

-Sachakarina

Categories: Fiksi | Tag: , | 2 Komentar

Blog di WordPress.com.